Kamis, 10 Juni 2010

Baptisan Air

Definisi umum: Baptisan bisa didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mempersatukan diri dengan kelompok tertentu. Baptisan Air menggunakan medium air untuk melakukan prosesi baptisan.

Sejarah mengisyaratkan bahwa baptisan sudah dilakukan jauh sebelum zaman Kekristenan mula-mula, namun Alkitab mencatat bahwa Allah memerintahkan Yohanes Pembaptis untuk membaptis dengan air sebagai tanda pertobatan, dan Yesus Kristus menaati perintah Bapa-Nya ini dengan memberikan Diri-Nya dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Selanjutnya, di abad permulaan Masehi, orang-orang Kristen awal juga melakukan pembaptisan terhadap orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dengan pembaptisan serupa.

Model atau metode pembaptisan ada bermacam-macam, di antaranya adalah: baptis selam , baptis curah dan baptis percik. Dua yang terakhir sepertinya dapat dikategorikan sebagai baptisan klinis (clinic baptism) lantaran dulunya dilakukan pada orang sakit yang hampir meninggal. Baptis selam dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, juga dilakukan oleh murid-murid Yesus hingga abad-abad permulaan tahun Masehi. Sejarah gereja mencatat bahwa pada abad-abad sesudah itu mulailah dilakukan baptis tuang dan baptis percik oleh gereja. Di akhir artikel kami sajikan kutipan sejarah baptisan.

MAKNA BAPTISAN:

Setiap orang perlu memasuki sebuah kehidupan dengan pengalaman baru, melalui iman percaya kepada Tuhan Yesus, melalui kebenaran salah satu dasar kekristenan yakni tentang Baptisan Air. Setiap orang yang ingin mengalami baptisan air hendaklah memahami terlebih dahulu makna sebenarnya dari Baptisan Air ini.

Hakikat Baptisan Air adalah: bahwa kita mengalami PENGUBURAN TABIAT MANUSIA LAMA, serta mengalami kebangkitan untuk berjalan dengan Kristus dalam hidup yang baru. Dengan Baptisan Air seharusnyalah tubuh dosa kita hilang kuasanya sehingga kita tidak lagi menjadi hamba dosa (Roma 6:6). Baptisan Air menggenapi kehendak Tuhan Yesus, dan seharusnya dilakukan oleh orang percaya (Matius 3:15-17).

Melalui Baptisan Air ini, kita berbicara tentang PENGUBURAN dan KEBANGKITAN. Manusia lama kita hendaklah mengalami “kematian total” , kita menjadi satu dengan Tuhan Yesus dalam kematian-Nya, dan mengambil bagian dalam kehidupan kebangkitan-Nya (Kolose 2:12).













Baptis berasal dari kata “baptizo” (Yunani) yang bermakna “ditenggelamkan seluruhnya”, itulah sebabnya dahulu Allah memerintahkan Yohanes Pembaptis untuk membaptis dengan air (Yoh 1:33), yang merupakan baptisan pertobatan (Mat 3:11), dengan cara menenggelamkan seseorang yang dibaptis itu ke dalam air, lalu membangkitkannya dari air itu; waktu itu dilakukan di sungai Yordan.

Jadi Baptisan Air yang benar dilakukan dengan cara membenamkan seluruh tubuh ke dalam air baptisan dan bangkit keluar.















Air menggambarkan liang kubur, yaitu untuk menguburkan kita dari kuasa dosa. Baptisan Air dilakukan dalam nama Tuhan Yesus (Kisah Para Rasul 2:38); juga dapat dilakukan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Matius 28:19). Tanda Baptisan Air adalah basah karena keluar dari air dan juga kita dapat mengalami kuasa kesembuhan dari sakit penyakit, roh-roh jahat dapat diusir, orang lumpuh dapat berjalan karena Kuasa dari Surga telah dicurahkan.

Selain kita dikuburkan dalam baptisan kematian, maka kita juga hendaklah menjadi sama seperti Yesus Kristus dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa dalam hidup yang baru (Roma 6:4).

Jadi, ketika kita dibaptis, kita mengalami sebuah pengalaman “kematian dan penguburan manusia lama” sebagaimana pengalaman Yesus ketika Dia mati dan dikuburkan (Rm 6:4). Sesudah kita menjadi satu dengan kematian-Nya itu, maka kitapun menjadi satu dengan kebangkitan-Nya (Rm 6:5); dahulu Yesus bangkit dari kubur, kitapun – pada waktu dibaptis – dibangkitkan dari air, yaitu “lobang kubur” manusia lama kita.














Karena itu, cara Baptisan Air yang benar adalah dengan cara tubuh kita ditenggelamkan atau dibenamkan seluruhnya ke dalam air baptisan atau kolam baptisan (Matius 3:16), dan pembatisan Air itu dilakukan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Matius 28:19).

Tuhan Yesus memberkati.

Referensi:

“Bukti jelas yang paling awal atas baptisan bayi ditemukan didalam tulisan Tertullian yang menentangnya ( 185 AD.). Bukti langsung pertama yang mendukung baptisan bayi ditemukan pada tulisan Cyprian, didalam Sidang di Carthage, di Afrika tahun 253 AD. Didalam tulisan kepada salah seorang bernama Fidus, Cyprian mengambil alasan bahwa bayi harus segera dibaptis setelah lahir (Epistle of Cyprian, LVIII, 2). Namun pendapat ini tidak berdasarkan Alkitab dan tidak diterima oleh kalangan Kristen.


Sidang jemaat mula-mula semuanya menolak baptisan bayi. Sidang di Elvira atau Grenada, 305 AD., mewajibkan penundaan baptisan selama 2 tahun (Hefele, History of the Councils, I, 155,Edinburgh, 1871). Sidang di Laodikia yang dilaksanakan pada tahun 360 AD., mensyaratkan mereka yang akan “dibaptis harus menghafalkan pengakuan iman didalam hati dan menyatakannya” (Hefele, II, 319). Sidang di Konstantinopel menetapkan bahwa calon yang akan dibaptis harus “tinggal suatu waktu yang lama didalam pelajaran Alkitab sebelum mereka menerima baptisan” (Ibid. II, 368). Dan Sidang di Carthage, tahun 398 AD. menetapkan bahwa “katekisasi harus dilakukan dan disiapkan untuk baptisan” (DuPin, Bibliotheque universelle, c. 4, 282).”


“Basil Agung lahir pada tahun 329 AD. dalam sebuah keluarga kaya dan saleh, dimana nenek-moyangnya dikenal sebagai para martir. Ibu dan neneknya adalah orang Kristen dan 4 saudara laki-laki dan 5 saudara perempuannya merupakan orang Kristen terkenal. Ia dibaptis pada usia 26. Dalam sebuah perikop luar biasa, 380 AD., ia dengan terus terang menyatakan penyimpangan zaman-zaman itu. Ia mengatakan:

“Apakah engkau keberatan dan mengembara serta menunda baptisan? Padahal sejak kecil engkau telah dikatekisasi didalam Firman, dan engkau belum juga mengenal kebenaran? Setelah demikian lama mempelajarinya, belumkah engkau mengetahuinya? Engkau adalah pengembara sepanjang hidupmu. Seorang peragu sampai tua. Kapan engkau akan menjadi seorang Kristen? Kapan akan kami melihat engkau menjadi bagian dari kami? Tahun lalu engkau menunggu sampai tahun ini; dan kini engkau berpikir untuk menanti sampai tahun berikutnya. Perhatikanlah, bahwa dengan mengatakan kepada diri sendiri engkau akan hidup lebih lama, maka engkau tidak sungguh-sungguh mendambakan pengharapanmu. Apakah engkau tahu perubahan apakah yang akan terjadi besok? (Migne, XXXI, 1514).


Semua ini menunjukkan bahwa orang Kristen mula-mula terus membaptis berdasarkan pengakuan iman; dan bahwa baptisan bayi tidak menghasilkan tempat pijakan yang permanen sampai berabad-abad setelah masa para rasul.


Baptisan bayi tidak berkembang secara mendadak. Augustine, Uskup dari Hippo-Regius, Afrika Utara (353-430 AD.) bukan orang pertama yang melaksanakannya; meskipun bukan dirinya saja yang membaptis bayi, namun ia merupakan pembela pertama dan yang paling kuat. Ia mengembangkan argumentasi theologis didalam pembelaannya. Sidang di Mela, Numidia, 416 AD., yang terdiri dari 15 anggota dan dibawah pimpinan Augustine, menetapkan:


Juga, merupakan hal yang menyenangkan bagi para uskup untuk memerintahkan bahwa terkutuklah barangsiapa yang menolak bahwa bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya untuk dibaptis atau mengatakan bahwa baptisan dilaksanakan untuk penghapusan atas dosa-dosa mereka sendiri, tetapi bukan karena dosa asal yang diturunkan dari Adam, dan ditebus dengan penyucian kelahiran kembali (Wall, The History of Infant Baptism, I, 205).


Ini merupakan sebuah fakta yang bernada nubuatan masa depan bahwa sidang pertama yang mendukung praktek baptisan bayi yang disertai kutukan terhadap mereka yang tidak setuju dengan keputusan sidang. Selanjutnya ketetapan itu menunjukkan adanya penentang baptisan bayi pada masa itu, dan bahwa ritual baptisan bayi bukan merupakan kebiasaan universal pada masa-masa itu.


Ketentuan yang pertama yang dijadikan sebagai rujukan untuk mendukung baptisan bayi di Eropa, ditetapkan oleh Sidang Spanyol di Gerunda, 517 AD. Sidang tersebut terdiri atas 7 orang yang menganut 10 ketentuan. Patokan yang mencakup butir yang berkenaan disini adalah Pasal V:


Namun mengenai anak-anak kecil yang baru lahir, dengan sukacita kami tentukan, bahwa jika, sebagaimana biasanya, mereka lemah dan tidak minum air susu ibunya, meskipun pada hari yang sama dimana mereka lahir (jika mereka dipersembahkan, jika mereka dibawa) mereka boleh dibaptis.


Ketentuan itu merupakan instruksi katekisasi biasa yang mesti mendahului baptisan. Dalam kasus bayi sakit, karena ketakutan mereka akan terhilang karena mati sebelum dibaptis, maka mereka harus dibaptis selagi masih bayi. Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk baptisan bayi yang kondisi kesehatannya baik. Juga terdapat keraguan apakah Sidang ini memang pernah dilangsungkan.”


“Charlemagne, 789 AD., mengeluarkan hukum pertama di Eropa untuk membaptis bayi. Ia terbelenggu perang yang sulit dihindarkan dengan orang Saxon, karena jenderalnya yang berani, Windekind, selalu mendapat sumber untuk mengalahkan rancangannya. Pada akhirnya sang kaisar berhasil menemukan sebuah cara yang mematahkan semangat Windekind, yakni dengan memisahkan pasukan darinya, dan hal ini benar-benar mengakhiri perang. Ini dilakukan dengan menhindarkan seluruh bangsa dari sebuah pilihan yang mengerikan; dibunuh oleh pasukan, atau menerima hidup dengan syarat mengaku sebagai orang Kristen dengan dibaptis; dan hukum-hukum yang keras masih tetap berlaku didalam kumpulan peraturan kerajaan ini, dimana mereka diharuskan, “dengan ancaman siksa kematian, untuk membaptis diri mereka, dan dengan denda yang berat untuk membaptis anak-anak mereka pada tahun kelahiran mereka”.


“Andre Lagarde mengatakan:


Sampai abad keenam, bayi-bayi hanya dibaptis ketika mereka ada didalam bahaya maut. Pada masa itu, praktek tersebut memperkenalkan pelaksanaan baptisan, meskipun mereka tidak sakit (Lagarde, Latin Church in the Middle Ages, 37).


Fakta-fakta ini semuanya menentang gagasan bahwa baptisan bayi merupakan praktek gereja-gereja purba. Ketika diperkenalkan, ia menghadapi perlawanan yang terbesar, dan hanya dibawah kutukan dan dengan todongan pedang, maka baptisan bayi dapat ditekankan kepada orang-orang Kristen yang tidak mau menerimanya; dan sikap intoleran mengikuti sejarahnya sampai kini.”


“Tentang bentuk baptisan yang dipraktekkan didalam gereja-gereja purba sedikitpun tidak ada keraguan. Dapat dipastikan bahwa cara selam merupakan ketentuan yang universal, dipelihara dengan baik oleh beberapa orang yang teraniaya.


Terdapat 6 gambaran terperinci atau ritual baptisan yang diturunkan kepada kita. Semuanya diketahui oleh gereja-gereja dan kesemuanya menggambarkan cara selam. Keenam gambaran tersebut dikenal dengan nama Egyptian Acts(Gebhardt dan Harnack, Texts and Researches, VI, c.4 (28);


TheCanon Hipolyte, abad ketiga (Hipolyte, Buku VII, (29); TheApostolic Constitutions or Canons, dalam versi bahasa Yunani, Koptik, dan Latin, 350-400 AD.;


Cyril of Jerusalem, 286 AD. (Migne XXXIII, 43);


Ambrose of Milan, 397 AD.(Bunsen, Analecta, II, 465), dan


Dionysius Areopagita, 450 AD. Ritual-ritual tersebut dipergunakan dengan luas didalam gereja-gereja dan menggambarkan praktek universal dengan cara selam.


Tentang praktek cara selam terdapat bukti di Afrika, Palestina, Mesir, Antiokhia dan Konstantinopel, serta di Kapadokia. Bagi orang Roma, kita memiliki kesaksian delapan ratus tahun tentang penggunaan cara selam. Tertullian menjadi saksi untuk abad kedua (Tertullian, De Bapt., c. 4); Leo Agung pada abad kelima (Fourth Letter to the Bishop of Sicily); Paus Pelagius pada abad keenam (Epist. Ad Gaudent); Theodulf dari Orleans pada abad kedelapan; dan pada abad kesebelas, orang-orang Roma menerapkan kepada subyek tersebut dengan selam “hanya dengan sekali” (Canisius, Lectiones Antiq., III, 281). Contoh-contoh ini menjawab cara yang digunakan orang Italia tersebut.


Ada juga kesaksian dari monumen Kristen mula-mula. Pada mulanya orang Kristen dibaptis di sungai-sungai dan mata air. Hal ini, menurut Walafrid Strabo, dilakukan dengan sangat sederhana (Migne, CXIV, 958). Kemudian oleh karena penganiayaan, orang-orang Kristen menyembunyikan diri; Catacombe-catacombe dilengkapi dengan banyak contoh tempat pembaptisan. Dr. Cote yang tinggal bertahun-tahun di Roma, dan dengan seksama meneliti masalah baptisan, mengatakan: “Pada masa kegelapan kekuasaan penganiayaan terhadap orang Kristen Roma purba, ditemukan tempat perlindungan yang dibuat tergesa-gesa di Catacombe-catacombe dimana mereka membangun tempat-tempat pembaptisan untuk melaksanakan upacara selam” (Cote, Archaelogy of Baptism, 151, London, 1876). Walaupun gambaran singkat mengenai tempat pembaptisan tidak bisa diuraikan disini, namun orang yang tidak dengan seksama mempelajari masalah tersebut akan terkejut dengan jumlah dan luasnya.


Kemudian ketika kebebasan beragama Kristen dijamin, banyak gereja yang didirikan. Pada mulanya tempat pembaptisan merupakan sebuah struktur tersendiri, terpisah dengan tempat kebaktian; namun kemudian menjadi kebiasaan untuk menempatkan tempat baptisan didalam gereja itu sendiri. Tempat-tempat pembaptisan demikian didirikan hampir di seluruh negeri dimana agama Kristen tersebar. Hal ini terutama di Italia. Cote memberikan daftar yang tak kurang dari 66 tempat pembaptisan didalam negeri itu saja (Cote, Baptisteries, 110). Setidak-tidaknya sampai pada abad kedelapan dan kesembilan tempat pembaptisan terus digunakan sepenuhnya di Italia. Tempat-tempat pembaptisan dibangun di Italia paling tidak sampai abad keempatbelas, sementara cara selam diteruskan di Kathedral Milan sampai berakhirnya abad kedelapanbelas.


Tempat-tempat pembaptisan tersebut dihiasi dan tentu saja penuh dengan emblem, mosaik dan lukisan yang ditujukan untuk memperjelas bentuk baptisan. Apa yang disebut dengan Seni Kristen ditemukan didalam catacombe-catacombe, terdapat pada interior gereja dan pada perlengkapan mebel dan peralatan. Gambaran yang paling lama bukan bertanggal sebelum masa Kaisar Constantine (Parker, The Archaelogy of Rome, XII, 11, Oxford, 1877); banyak yang secara terus menerus diperbaiki, dan beberapa diantara yang paling terkenal terus berubah sedemikian rupa sehingga kehilangan karakter aslinya (Crowe dan Cavalcaselle, History of Painting in Italy, I, 22). Tidak diperoleh kesimpulan yang pasti dari sumber ini, namun pengajaran dari semua karya seni mula-mula itu mengindikasikan cara selam sebagai bentuk baptisan. Gambar-gambar tersebut menunjukkan pemandangan sungai, orang yang akan dibaptis berdiri didalam air, dan keadaan sekitarnya semua menunjukkan pelaksanaan baptisan yang primitif. Pendapat para profesor arkheologi dari universitas-universitas besar secara bulat menyatakan bahwa gambar-gambar kuno mengenai baptisan didalam catacombe-catacombe tersebut dan di tempat-tempat lainnya, menunjukkan ritual itu dilaksanakan dengan cara selam (Lihat Christian’s Baptism in Sculpture and Art, Louisville, 1907).”



” Baptisan dengan cara curah merupakan perkembangan yang lamban. Kemungkinan penyebutan cara curah yang paling awal ditemukan didalam Teaching of the Twelve Apostles yang terkenal (Bryennios, Didacha ton Dodeka Apostolon, Konstantinopel, 1883), yang menurut berbagai pendapat dinyatakan sebagai berasal dari abad yang pertama dari tujuh abad lainnya.


Novatian (250 AD.) menyampaikan kasus pertama yang tercatat mengenai baptisan klinis atau baptisan untuk orang sakit (clinic baptism). Ketika terbaring sakit, ia dicurahkan air yang sebanyak-banyaknya, namun baptisannya dengan jelas disebut sebagai “pembatasan” atau “pengganti” (Eusebius, The Church History, 289, New York, 1890). Pencurahan hanyalah sekedar merupakan pengganti selam. Perancis merupakan negeri pertama yang mengijinkan baptisan dengan cara pencurahan demi menikmati kesehatan penuh (Wall, The History of Infant Baptism, I, 576). Hukum pertama untuk baptisan percik diberlakukan dengan cara sebagai berikut: “Paus Stephen III, ketika dibawa dari Roma oleh Astulphus, Raja dari Lombards pada tahun 753, melarikan diri kepada Pepin, yang baru saja merampas tahta Perancis. Waktu tinggal disana, para biarawan Cressy di Brittany berkonsultasi dengannya, menanyakan apakah alkitabiah jika pada saat dibutuhkan, baptisan dilaksanakan dengan menuangkan air ke atas kepala bayi. Stephen menjawab bahwa hal tersebut alkitabiah” (Edinburgh Encyclopedia, III, 236). Namun sampai pada 1311 AD., Sidang di Ravenna menetapkan: “Baptisan harus dilaksanakan dengan tiga kali percik atau selam” (Labbe dan Cossart, Sacrosancta Concilia, II, B, 2, 1586, Paris, 1671). Segera setelah itu, pemercikan menjadi sebuah kebiasaan di Perancis.


Selama 13 abad pertama, cara selam merupakan praktek yang normal di kalangan Kristen.


Kata Dollinger, “Baptisan dengan cara selam terus menjadi praktek yang umum Gereja sampai pada abad keempatbelas” (Dollinger, The History of the Church, II, 294, London, 1840-42). Cara selam dipraktekkan di beberapa bagian Jerman pada abad keenambelas. Di Inggris selam dipraktekkan selama 1.600 tahun.”

Sumber:

http://dedewijaya.blog.friendster.com/2008/12/sejarah-baptis-bag-2/